Senin, 24 September 2012

Hadiah Terakhir Dari Ayah

           By : Mujiati Susanti
                        XI IPS 3
Aku bukan remaja terlahir tanpa ibu. Aku bukan juga anak bekas panti. Bundaku meninggal saat aku dilahirkan olehnya, jadi aku bisa di bilang anak piatu. Itulah aku. Oh ya, panggil saja aku Dewi. Ayah pernah bercerita, setelah pemakaman bunda ayah sempet berfikir nama seindah apa yang pantas buat putri cantikny. Ayah memberi nama Dewi karena Dewi juga nama bundaku. Jadi setiap hari ulang tahunku juga hari ulang tahun kematian bunda.
Ayahku juga seorang petinggi di daerahku. Ayah baik, ramah, selalu menolong orang yang kesusahan. Meskipun aku tau seorang petinggi biasanya selalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi kenapa tidak dengan ayah? Ayah hanya menjawab, “ayah hany ingin menjaga putri cantik ayah.” Aku sangat bangga memiliki ayah seperti dia. Banyak teman wanita ayah bertanya, “aku takut jika aku tidak sendiri lagi, kasih sayangku terhadap putri cantikku berkurang karena tergantikan wanita baru di kehidupanku.” Ya Tuhan, aku sangat bersyukur sekali terhadapMu. Ayah sangat sabar, tabah dan kuat menjalani kehidupan ini. Padahal ayah lagi sakit. Ayah dulu pernah mendonorkan ginjalnya pada om Neno sahabat ayah. Jika kelak ayah di panggil Tuhanterlebih dahulu, kalo ayah yang di panggil duluan, Dewi bersama siapa di dunia ini Tuhan?
            Suatu hari giliran kelasku masuk ke laboratorium kimia untuk melakukan ulangan praktek. Sesampainya di laboratorium, aku merasa bukuku ketinggaln di kelasdi kelas. Aku mengambilnya dan segera kembali ke laboratorium. Namun naas, kakiku terperanjak ke bangku. Aku menyeggol meja yang di atasnya di persiapkan 8 cairan kimia. Aku pun terjatuh, cairan kimiapun juga terjatuh dan menimpa kedua mataku. Ya Tuhan, perih sekali rasanya saat itu. Aku berteriak karena keperihan mataku. Segera pihak sekolah membawaku ke rumah sakit. Ada ayah juga di situ. Aku sedih. Ini puncak dari kesedihanku. Aku merasa kehidupanku berakhir sampai disini dan aku kehilangan semuanya. Aku mengalami kebutaan. Cairan itu merusak pencernaan dan penglihatanku. Aku benci dengan kehidupan ini. Tapi ayah selalu membuat aku kuat dan tabah menjalani musibahku. Dokter sedang mencari pendonor mata untukku. Hanya dengan jalan itu mataku kembali melihat lagi. Aku dan ayah menunggu. Lagi-lagi ayah mundur dari dunia politiknya karena hanya ingin merawatku di rumah. “Tapi kan ada bibi yah?” “Haruskah bibi saja nak?” ayahku balik bertanya. Ayah setiap hari mengantarkan aku ke sekolah, menyuapiku saat aku ingin makan, jalan-jalan menikmati udara luar.
            Hampir 3 bulan lamanya aku sepert ini. Dokter belom juga menghubungi ayah. Ketika malam hari, ayah merasakan sakit di perut di sebelah kirinya. Ya Tuhan, jangan buat ayah sakit! Karena sakitnya tidak hilang, ayah di bawa ke rumah sakit oleh Mamang, supirku. Dokter mengatakan ayah harus di rawat, kondisi ayah sangat kritis saat itu. Aku menangis, cobaan apa lagi yang harus aku hadapi Tuhan? Saat kesedihan terus menggelayut, sahabtku Nisa, Oza, dan Fatirlah yang setia merawatku. Terima kasih banyak sahabat.
            3 hari lagi usiaku menginjak 17 tahun. “Haruskah aku merayakannya sendiri, tanpa ayah?” Sahabtku menjawab, “ada kami untuk kamu Dewi.” Tapi aku tetap merasa kesepian. Nesa yang selalu berhmor ria membuatku tertawa terbahak-bahak karena leluconnya. Di saat itu juga handphoneku berbunyi. Dokter mengatakan ada pendonor untukku, tapi dokter akan memberi tahunya jika operasi cangkokan mataku selesai. Dengan penuh bahagia aku masuk ke ruangan ayah. Ayah yang sedang koma tetap aku ajak bicara. Tidak ada respon, hanya air mata yang mengalir dari mata ayah. Mungkin ayah juga bahagia, aku yakin itu.
            18 Januari pukul 20.00, aku menjalani cangkokan mata. Aku pamit pada ayah, tapi kata dokter, ayah tidak boleh di temui. Aku hanya menurut. Operasi memungkinkan berjalan 7 jam. Berarti 19 Januari dini hari nanti tepat hari ulang tahunku, aku mempunyai mata baru.
            Operasi selesai, pembukaan kapas di mulai. Takjub sekali! Sahabat dan teman-temanku ada di ruanganku, semua bersorak dan menyanyikan lagu happy birthday saat mataku terbuka. Tak terkecuali bibi dan Mamang. Tapi dimana ayah? Semua pada diam dan ruangan itu menjadi hening. Aku memaksa semua untuk menjawab. Tapi kenapa mereka menjawab dengan tangisan? Aku tak mengerti. Aku memaksa dokter bercerita. Dengan wajah keterpaksaan, dokter menceritakan semuanya. Ya Tuhan, tetap ayahlah orang yang rela melakukan semuanya demi kehidupanku. Aku bertanya, “dimana ayah saat ini?” Mamang menjawab, “ayah berada di rumah menanti kedatangan non Dewi.” Saat itu juga aku pulang bersama bibi, Mamang, sahabat dan teman-temanku. Di depan jasad ayah yang sudah terbujur kaku, aku menangis. “Kenapa ayah melakukan ini? Aku rela buta seumur hidup asal ayah tetap bersama Dewi. Ayah, bangun ayah...... Dewi bersama siapa disini?” Semua sibuk menenangkanku. Aku sedikit tenang. Sambil menangis aku membacakan surat Yasin untuk ayah.
            Pemakaman selesai. Aku tak mau pulang, aku tak mau pulang. Aku ingin bersama ayah disini! Saudara ayah, tante Lili memberiku sepucuk surat. “Bacalah sayang! Ini pesan ayahmu.” Aku membukanya...................
Selamat ulang tahun putri cantikku, malaikat kecil ayah sudah beranjak dewasa sekarang. Jadilah anak yang baik, anak sholehah, rajin beribadah seperti yang ayah ajarkan padamu nak. Maafkan ayah telah meninggalkanmu. Ayah tak kuasa menahan rasa sakit di perut ayah sayang.. Ayah memilih untuk pergi. Hanya mata itu yang bisa ayah berikan pada kamu. Sekali lagi, maafkan ayah, putriku.. Jadilah wanita baik dan berhasil”
            Aku menangis menciumi nisan ayah. Sahabat-sahabatku kue tart padaku. Aku di paksa untuk meniup lilinnya. Saat meniup lilin aku berdoa,
Ya Tuhan,..
Terima kasih kau telah menyempatkanku menghirup udara di usiakuke 17 ini. Menyempatkanku selama 17 tahun hidup bersama seorang ayah yang baik. Sahabat-sahabat setia selalu ada untukku. Mamang dan bibi yang baik selama ini, yang setia merawatku. Tempatkanlah ayah dan bunda di tempat terbaikmu, Tuhan......
            Aku tiup lilin atas nama bunda dan ayah. Karena 19 Januari ini hari dimana bunda meninggal karena melahirkanku, ayah meninggal karena merelakan matanya untukku, dan hari ulang tahunku. Aku memeluk mereka semua dan berkata pada nisan bunda, “terimakasih bunda, bunda sudah menukar nyawa demi kehidupanku.” Pada nisan ayah, “terimakasih ayah, untuk hadiah terakhir dan hadiah terindah ini.” Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi wanita baik dan wanita yang berhasil. Meskipun ayah dan bunda sudah tidak di dunia lagi, bagi Dewi mereka tetap ada. Nyawa ini adalah pemberian dari bunda dan mata ini adalah mata pemberian ayah........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar