By : Mujiati Susanti
XI IPS 3
Aku bukan remaja terlahir tanpa ibu. Aku
bukan juga anak bekas panti. Bundaku meninggal saat aku dilahirkan olehnya,
jadi aku bisa di bilang anak piatu. Itulah aku. Oh ya, panggil saja aku Dewi. Ayah
pernah bercerita, setelah pemakaman bunda ayah sempet berfikir nama seindah apa
yang pantas buat putri cantikny. Ayah memberi nama Dewi karena Dewi juga nama
bundaku. Jadi setiap hari ulang tahunku juga hari ulang tahun kematian bunda.
Ayahku
juga seorang petinggi di daerahku. Ayah baik, ramah, selalu menolong orang yang
kesusahan. Meskipun aku tau seorang petinggi biasanya selalu sibuk dengan
pekerjaannya, tapi kenapa tidak dengan ayah? Ayah hanya menjawab, “ayah hany
ingin menjaga putri cantik ayah.” Aku sangat bangga memiliki ayah seperti dia.
Banyak teman wanita ayah bertanya, “aku takut jika aku tidak sendiri lagi,
kasih sayangku terhadap putri cantikku berkurang karena tergantikan wanita baru
di kehidupanku.” Ya Tuhan, aku sangat bersyukur sekali terhadapMu. Ayah sangat
sabar, tabah dan kuat menjalani kehidupan ini. Padahal ayah lagi sakit. Ayah
dulu pernah mendonorkan ginjalnya pada om Neno sahabat ayah. Jika kelak ayah di
panggil Tuhanterlebih dahulu, kalo ayah yang di panggil duluan, Dewi bersama
siapa di dunia ini Tuhan?
Suatu hari giliran kelasku masuk ke laboratorium kimia
untuk melakukan ulangan praktek. Sesampainya di laboratorium, aku merasa bukuku
ketinggaln di kelasdi kelas. Aku mengambilnya dan segera kembali ke
laboratorium. Namun naas, kakiku terperanjak ke bangku. Aku menyeggol meja yang
di atasnya di persiapkan 8 cairan kimia. Aku pun terjatuh, cairan kimiapun juga
terjatuh dan menimpa kedua mataku. Ya Tuhan, perih sekali rasanya saat itu. Aku
berteriak karena keperihan mataku. Segera pihak sekolah membawaku ke rumah
sakit. Ada ayah juga di situ. Aku sedih. Ini puncak dari kesedihanku. Aku
merasa kehidupanku berakhir sampai disini dan aku kehilangan semuanya. Aku
mengalami kebutaan. Cairan itu merusak pencernaan dan penglihatanku. Aku benci
dengan kehidupan ini. Tapi ayah selalu membuat aku kuat dan tabah menjalani
musibahku. Dokter sedang mencari pendonor mata untukku. Hanya dengan jalan itu
mataku kembali melihat lagi. Aku dan ayah menunggu. Lagi-lagi ayah mundur dari
dunia politiknya karena hanya ingin merawatku di rumah. “Tapi kan ada bibi
yah?” “Haruskah bibi saja nak?” ayahku balik bertanya. Ayah setiap hari
mengantarkan aku ke sekolah, menyuapiku saat aku ingin makan, jalan-jalan
menikmati udara luar.
Hampir
3 bulan lamanya aku sepert ini. Dokter belom juga menghubungi ayah. Ketika
malam hari, ayah merasakan sakit di perut di sebelah kirinya. Ya Tuhan, jangan
buat ayah sakit! Karena sakitnya tidak hilang, ayah di bawa ke rumah sakit oleh
Mamang, supirku. Dokter mengatakan ayah harus di rawat, kondisi ayah sangat
kritis saat itu. Aku menangis, cobaan apa lagi yang harus aku hadapi Tuhan?
Saat kesedihan terus menggelayut, sahabtku Nisa, Oza, dan Fatirlah yang setia
merawatku. Terima kasih banyak sahabat.
3 hari lagi usiaku menginjak 17 tahun. “Haruskah aku
merayakannya sendiri, tanpa ayah?” Sahabtku menjawab, “ada kami untuk kamu
Dewi.” Tapi aku tetap merasa kesepian. Nesa yang selalu berhmor ria membuatku
tertawa terbahak-bahak karena leluconnya. Di saat itu juga handphoneku berbunyi.
Dokter mengatakan ada pendonor untukku, tapi dokter akan memberi tahunya jika
operasi cangkokan mataku selesai. Dengan penuh bahagia aku masuk ke ruangan
ayah. Ayah yang sedang koma tetap aku ajak bicara. Tidak ada respon, hanya air
mata yang mengalir dari mata ayah. Mungkin ayah juga bahagia, aku yakin itu.
18 Januari pukul 20.00, aku menjalani cangkokan mata. Aku
pamit pada ayah, tapi kata dokter, ayah tidak boleh di temui. Aku hanya
menurut. Operasi memungkinkan berjalan 7 jam. Berarti 19 Januari dini hari
nanti tepat hari ulang tahunku, aku mempunyai mata baru.
Operasi selesai, pembukaan kapas di mulai. Takjub sekali!
Sahabat dan teman-temanku ada di ruanganku, semua bersorak dan menyanyikan lagu
happy birthday saat mataku terbuka. Tak terkecuali bibi dan Mamang. Tapi dimana
ayah? Semua pada diam dan ruangan itu menjadi hening. Aku memaksa semua untuk
menjawab. Tapi kenapa mereka menjawab dengan tangisan? Aku tak mengerti. Aku
memaksa dokter bercerita. Dengan wajah keterpaksaan, dokter menceritakan
semuanya. Ya Tuhan, tetap ayahlah orang yang rela melakukan semuanya demi
kehidupanku. Aku bertanya, “dimana ayah saat ini?” Mamang menjawab, “ayah
berada di rumah menanti kedatangan non Dewi.” Saat itu juga aku pulang bersama
bibi, Mamang, sahabat dan teman-temanku. Di depan jasad ayah yang sudah
terbujur kaku, aku menangis. “Kenapa ayah melakukan ini? Aku rela buta seumur
hidup asal ayah tetap bersama Dewi. Ayah, bangun ayah...... Dewi bersama siapa
disini?” Semua sibuk menenangkanku. Aku sedikit tenang. Sambil menangis aku
membacakan surat Yasin untuk ayah.
Pemakaman selesai. Aku tak mau pulang, aku tak mau
pulang. Aku ingin bersama ayah disini! Saudara ayah, tante Lili memberiku
sepucuk surat. “Bacalah sayang! Ini pesan ayahmu.” Aku membukanya...................
”Selamat ulang tahun putri cantikku, malaikat kecil ayah sudah beranjak
dewasa sekarang. Jadilah anak yang baik, anak sholehah, rajin beribadah seperti
yang ayah ajarkan padamu nak. Maafkan ayah telah meninggalkanmu. Ayah tak kuasa
menahan rasa sakit di perut ayah sayang.. Ayah memilih untuk pergi. Hanya mata
itu yang bisa ayah berikan pada kamu. Sekali lagi, maafkan ayah, putriku..
Jadilah wanita baik dan berhasil”
Aku menangis menciumi nisan ayah. Sahabat-sahabatku kue
tart padaku. Aku di paksa untuk meniup lilinnya. Saat meniup lilin aku berdoa,
Ya Tuhan,..
Terima kasih kau telah
menyempatkanku menghirup udara di usiakuke 17 ini. Menyempatkanku selama 17
tahun hidup bersama seorang ayah yang baik. Sahabat-sahabat setia selalu ada
untukku. Mamang dan bibi yang baik selama ini, yang setia merawatku.
Tempatkanlah ayah dan bunda di tempat terbaikmu, Tuhan......
Aku tiup lilin atas nama bunda dan ayah. Karena 19
Januari ini hari dimana bunda meninggal karena melahirkanku, ayah meninggal
karena merelakan matanya untukku, dan hari ulang tahunku. Aku memeluk mereka
semua dan berkata pada nisan bunda, “terimakasih bunda, bunda sudah menukar
nyawa demi kehidupanku.” Pada nisan ayah, “terimakasih ayah, untuk hadiah
terakhir dan hadiah terindah ini.” Aku berjanji pada diriku sendiri untuk
menjadi wanita baik dan wanita yang berhasil. Meskipun ayah dan bunda sudah
tidak di dunia lagi, bagi Dewi mereka tetap ada. Nyawa ini adalah pemberian
dari bunda dan mata ini adalah mata pemberian ayah........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar